UNC24
Dukung Mauritius seperti West Papua, Vanuatu buktikan komitmen dekolonisasi
Hague, Jubi – Untuk pertama kalinya dalam sejarah Vanuatu, pekan lalu Pemerintah Vanuatu mengajukan dukungannya pada sebuah kasus di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ), peradilan utama PBB.
Hal itu dilakukan untuk memberikan pendapat yang tidak mengikat (Advisory Opinion) sehubungan dengan Konsekuensi Legal Pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius pada tahun 1965.
Vanuatu memperdebatkan prinsipnya mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri, konsisten dengan sejarah panjangnya dalam mendukung kaum yang berjuang untuk kebebasan mereka dari kolonisasi, termasuk Timor Leste dan Papua Barat. Seperti yang dikatakan Walter Lini pada tahun 1982.
“(Pasifik) adalah salah satu wilayah terakhir di seluruh dunia di mana tangan berat kolonialisme masih terus terjadi. (.…) Sisa-sisa dari masa lalu ini harus diangkat dari lautan kita, karena dalam semua kebenaran dan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, sampai kita semua bebas, tidak satupun dari kita (bebas),” katanya.
Vanuatu memberikan suara untuk mendukung resolusi di Majelis Umum PBB dan pada 25 Mei tahun ini, Perdana Menteri Mauritius, Pravind Kumar Jugnauth, menyurati Perdana Menteri Charlot Salwai dan meminta Vanuatu untuk membuat pengajuan lisan ke hadapan ICJ untuk mendukung negaranya.
Surat dan permintaan itu disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Ralph Regenvanu, oleh Menteri Industri Pertanian dan Ketahanan Pangan Mauritius, Mahen Kumar Seeruttun, dalam pertemuan bilateral di selang pertemuan ke-107 Dewan ACP dan pertemuan ke-43 Dewan Menteri-menteri ACP/Uni Eropa di Lome, Togo, 28 Mei lalu.
Menteri Regenvanu meyakinkan Menteri Seeruttun pada saat itu bahwa Vanuatu akan mendukung Mauritius dan mengajukan dukungan mereka dalam kasus itu, seperti permintaan Mauritius.
Vanuatu bergabung dengan 21 negara dan Uni Afrika (AU) yang juga berpartisipasi dalam prosesi tersebut. Negara-negara ini adalah, dalam urutan abjad: Argentina, Australia, Belize, Botswana, Brasil, Siprus, Jerman, Guatemala, India, Israel, Kenya, Kepulauan Marshall, Mauritius, Nikaragua, Nigeria, Serbia, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat, Vanuatu, dan Zambia.
Vanuatu berbicara di hadapan pengadilan pada pagi hari Kamis, 6 September dan mempresentasikan argumennya melalui pengacara mereka.
Vanuatu diwakili pada sidang Profesor Robert McCorquodale, seorang pakar internasional bidang hukum mengenai hak menentukan nasib sendiri, Jennifer Robinson, seorang pengacara khusus hukum internasional dan sebelumnya telah bekerja dengan United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), Nicola Peart, pengacara dengan spesialisasi hukum internasional yang telah terlibat dalam berbagai perselisihan internasional, dan Noah Patrick Kouback dari Misi Permanen Vanuatu di Jenewa.
Menteri Regenvanu mengungkapkan Mauritius ‘senang’ dengan dukungan Vanuatu, Perdana Menteri Jugnauth menghampiri delegasi Vanuatu langsung secara pribadi untuk menyelamati mereka.
Menteri Regenvanu mengatakan, “Kami mengantisipasi bahwa Advisory Opinion ini akan menetapkan prinsip-prinsip hukum yang juga akan membantu Vanuatu dalam negosiasi kami dengan Prancis tentang Kepulauan Matius dan Hunter dan juga dalam advokasi kami untuk dekolonisasi Papua Barat,”. (Daily Post)
Jayapura, Jubi – Seperti diduga sebelumnya, dukungan formal dari Forum Kepulauan Pasifik (PIF) minggu ini di Nauru masih belum beranjak dari posisi tahun sebelumnya. Namun Vanuatu akan melanjutkan inisiatif untuk menjadikan West Papua terdaftar kembali sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri di PBB.
Vanuatu telah meminta negara-negara anggota forum untuk mendukung usulan resolusi ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2019, untuk mengakui hak penentuan nasib sendiri West Papua dan memasukan kembali West Papua dalam list Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi.
Negara-negara forum seperti Nauru, Kepulauan Solomon dan Tuvalu mendukung inisiatif serupa pada tahun 2013, yang membawa French Polinesia terdaftar kembali dalam Komite Khusus PBB tersebut . Negara-negara ini menghadapi oposisi Perancis di Majelis Umum PBB.
Menteri Luar Negeri Vanuatu Ralph Regenvanu mengatakan Vanuatu tidak datang ke forum dengan maksud untuk mendapatkan resolusi, karena negaranya tahu mereka tidak akan mendapatkannya. Yang mereka lakukan adalah membawa isu West Papua ke phadapan para anggota dan meminta dukungan mereka. Sejauh ini ada indikasi bahwa Vanuatu mendapat dukungan dari mayoritas anggota forum.
Dari Pasifik, Karibia, Afrika dan Eropa
Dalam beberapa tahun terakhir, United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) telah mencari keanggotaan dan dukungan dari badan-badan regional dan internasional. Lora Lini, putri Perdana Menteri pertama Vanuatu, almarhum Pastor Walter Lini, telah ditunjuk sebagai Utusan Khusus untuk Dekolonisasi Papua Barat di negara-negara Kepulauan Pasifik.
Juru bicara ULMWP, Jacob Rumbiak, yang menghadiri Forum Nauru bersama Ketua ULMWP Benny Wenda, mengatakan inisiatif ini memungkinkan para pemimpin pulau Pasifik untuk mengakui bahwa konflik antara Jakarta dan West Papua adalah masalah politik internasional – bukan masalah domestik internal – yang hanya diselesaikan dengan negosiasi pihak ketiga (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), Papua New Guinea (PNG) dan Fiji telah menolak dorongan untuk menjadikan ULMWP sebagai anggota penuh, sementara Vanuatu dan FLNKS telah mendukung gagasan tersebut. Mantan Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare adalah pendukung vokal dari penentuan nasib sendiri Papua Barat, tetapi di bawah pemerintahan baru Perdana Menteri Rick Houenipwela, negara ini telah mengambil sikap diplomatik yang lebih terukur sejak tahun lalu.
Meskipun demikian, Regenvanu mengatakan bahwa masalah Papua di MSG masih didialogkan.
“Kami terus berbicara dengan mereka sepanjang waktu. Kami menghormati posisi mereka. Kami hanya meminta negara-negara Pasifik lainnya untuk mendukung resolusi itu ketika datang ke United Nation of General Asembly (UNGA) tahun depan. Kami sedang bekerja untuk menyusun resolusi untuk UNGA pada 2019 dan mendapatkan dukungan mayoritas suara,” kata Regenvanu.
Mengingat posisi dari Australia, PNG dan Fiji, pemerintah Vanuatu mencari dukungan di luar wilayah kepulauan. Regenvanu mencatat bahwa dukungan akan datang dari Eropa, Gerakan Non-Blok dan kelompok internasional lainnya.
“Pasifik akan mewakili beberapa suara, tetapi sebagian besar suara akan datang dari luar pasifik, jadi kami bekerja di semua front untuk mencoba dan mendapatkan suara mereka,” katanya.
“Ada tanda-tanda dukungan dari kelompok Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP). Kami memiliki serangkaian pertemuan bilateral awal tahun ini. Ini sekarang dalam agenda sub-komite politik ACP untuk didiskusikan dan semoga muncul dengan resolusi di ACP pada bulan Desember tahun ini – pada pertemuan Dewan Menteri,” lanjutnya.
Regenvanu mencatat Vanuatu punya agenda pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Caricom dan KTT Uni Afrika.
Komunike terakhir dan lobi Indonesia
Dalam komunike terakhir mereka dari Nauru, para pemimpin forum mengulangi kembali pengakuan lama mereka terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua Barat, dan menghindari referensi apa pun terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri
“Para pemimpin mengakui keterlibatan konstruktif oleh negara-negara Forum dengan Indonesia dengan menghormati pemilihan umum dan hak asasi manusia di Papua Barat (Papua) dan untuk melanjutkan dialog secara terbuka dan konstruktif.”
Demikian tertulis dalam komunike tersebut.
Komunike terakhir ini telah mendesak Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan anggaran sebesar Rp 60 miliar dalam upaya lobi di Pasifik. Anggaran yang diajukan Menko Polhukam Wiranto ini terbagi dalam lima pos kegiatan koordinasi. Pertama adalah peningkatan citra Papua dengan anggaran Rp 20 miliar Kedua, peningkatan kerja sama Indonesia dengan Pasifik Selatan senilai Rp 15 miliar. Ketiga, peningkatan kerja sama organisasi internasional Pasifik Selatan sejumlah Rp 15 miliar. Keempat adalah pengelolaan Keamanan Wilayah Perbatasan Australia dan Pasifik Selatan sebesar Rp 5 miliar. Dan kelima adalah peningkatan kerja sama intelijen keamanan wilayah perbatasan Australia dan Pasifik Selatan sebesar Rp 5 miliar.
Wiranto mengungkapkan di Kepulauan Pasifik ada 13 negara dan 7 di antaranya mendukung gerakan Papua Merdeka. Oleh sebab itu, pemerintah harus lebih gencar melakukan diplomasi terhadap negara-negara tersebut.
“Kita secara intens melakukan soft diplomasi. Kita jelaskan. Ternyata karena kita kurang sentuh mereka, informasi tentang Papua mereka dapat justru dari Eropa,” kata Wiranto.
Refrendum di Melanesia
Namun masalah penentuan nasib sendiri akan berlanjut pada agenda regional. Pada akhir transisi 20 tahun di bawah Kesepakatan Noumea, Kaledonia Baru akan mengadakan referendum tentang penentuan nasib sendiri pada 4 November.
Seperti yang dilaporkan oleh Islands Bussiness, jika pemungutan suara menghasilkan ‘Tidak’, itu hanyalah langkah dalam proses berkelanjutan di bawah Perjanjian Noumea.
Daniel Goa, juru bicara resmi untuk Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) mengatakan jika orang mengatakan “Ya”, akan ada deklarasi kemerdekaan, dan antara empat atau lima tahun akan ada transisi.
“Namun jika orang memilih “Tidak”, maka kami akan melanjutkan perjuangan kami yang telah berlanjut selama lebih dari 164 tahun. Anda harus memahami bahwa Kesepakatan Noumea membuat ketentuan untuk tiga referendum, bukan satu. Jika orang memilih “Tidak” pada bulan November, kita masih dapat menyelenggarakan referendum kedua pada tahun 2020. Jika orang-orang memilih Tidak lagi pada 2020, referendum ketiga dapat diadakan pada 2022,” ungkapnya.
Sejalan dengan ini, Bougainville juga dijadwalkan untuk mengadakan referendum mengenai status politiknya, diusulkan untuk 2019, meskipun kurangnya dukungan untuk kemerdekaan di Parlemen PNG.
Forum tahun depan akan diadakan di Tuvalu, yang telah memberikan dukungan diplomatik untuk West Papua dan French Polinesia tahun 2013. Forum 2020 akan diselenggarakan oleh Vanuatu, sehingga masalah penentuan nasib sendiri di Melanesia akan terus diperdebatkan. (*)
Vanuatu Daily Post – Since her appointment as the Special Envoy on Decolonization of West Papua to the Pacific Island States, Lora Lini spoke exclusively to the Daily Post about how she sees her role and the importance of the position entrusted upon her by the Vanuatu Government.

West Papua Special Envoy, By Jane Joshua
But first, she says that it is the present government who recognizes the importance of taking the West Papua issue further and to a higher level via a United Nations Resolution for West Papua.
Ms Lini says past governments and civil society organizations of Vanuatu have maintained the country’s stand for the West Papua since Vanuatu’s independence in 1980. But the issue of West Papua has reached another level and the present government also recognizes the struggle of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) and other organizations that support and work together with the Movement for the cause of West Papua self- determination.
The draft Resolution has now been presented to all Forum members.
Ms Lini is optimistic and says although Australia, Papua New Guinea and Fiji, may have indicated not to support the Resolution on West Papua which Vanuatu intends to push through to the UN Committee of 24 on Decolonization, Vanuatu will continue to lobby for support from all member states of the Pacific Islands Forum including Australia, Papua New Guinea, and Fiji.
Ms Lini confirmed that Vanuatu will raise the issue of West Papua and lobby support from the Pacific Leaders at the upcoming Leaders Summit in Nauru in early September 2018.
She said one thing is clear during her previous stint at the Pacific Islands Forum meetings in Samoa is that most members share the sentiments that raw colonialism has no place in Melanesia or in the Pacific. The issue of West Papua is like climate change issues they seem to come in all different forms but the root is still colonialism just in other forms and but Pacific Island States are no longer blind,” says Ms Lini.
“If Vanuatu as a Melanesian country who we share the same ethnicity with our brothers and sisters of West Papua but does not speak for West Papua? Then who will?” She said there is no way around this issue — the only way is to re-present the issue at the United Nations.
“We must not turn a blind eye on West Papua — this issue has been around longer than we have struggled for our own independence and we, like other Melanesians and Pacific Islander are the only people that can truly speak for West Papua not because we have policies or conventions that obliges us to do as Governments but because we know that as Melanesians or Pacific Islanders it is our duty to speak for them and it is the right thing to do because they are unable to do so in such international forums, says Ms Lini.
She said although Vanuatu is seen as a small nation but over 38 years now since Independence Vanuatu has over the years established bilateral relations with many countries and gained many friends small states as well as super powers.
Ms Lini says if it is the will of the Government and the people of Vanuatu and the Almighty God to set free West Papua — then let thy will be done. She is not new to the issue of West Papua. She is a founding member of the Vanuatu Free West Papua Association Of Vanuatu.
She has also previously worked at the Melanesian Spearhead Group Secretariat in Port Vila and is well versed over the outstanding work for West Papua at the level of Melanesia as a sub-regional Organisation that was founded in the core issues of Decolonisation in the region of Melanesia. She is adamant that MSG is still obliged to the issue of West Papua as agreed by the Leaders meeting and the MSG is a key region that she will visit to rally support.
“This is our own backyard and we must be the first to unite on this issue,” says Ms Lini. She also served at the Communications and Public Affairs Division at the Commonwealth Secretariat in London in the United Kingdom and is a journalist by profession.

Perdana Menteri PNG, Peter ONeil – Jubi/Victor Mambor
Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Papua Nugini (PNG), Peter ONeill dalam dalam kuliah umum tentang “Regionalisme Pasifik” di University of South Pacific, Fiji, Senin (9/7/2018) menyampaikan bahwa isu West Papua adalah isu yang sensitif untuk PNG. Namun ia mendorong isu West Papua ini dibawa ke komite dekolonisasi PBB.
“Seperti yang anda tahu West Papua adalah anggota Melanesia Spearhead Groups (MSG) sehingga mereka telah berpartisipasi dalam beberapa diskusi regional berkaitan dengan masalah ini. Tetapi yang lebih penting adalah kami telah berbicara dengan sangat jelas dengan Pemerintah Indonesia tentang isu-isu pelanggaran hak asasi manusia di West Papua, ” kata Oneill saat ditanya oleh seorang mahasiswa bernama Jope Tarai dala, kuliah umum tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir anggota MSG, terutama Vanuatu dan Kepulauan Solomon, serta negara-negara Pasifik lainnya, telah berbicara tentang West Papua di forum internasional.
Perhatian mereka berpusat pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia dasar rakyat West Papua
PNG, menurut ONeill telah mendesak anggota regional yang khawatir tentang West Papua untuk membawa masalah ini ke PBB. Dikutip Fiji Times, ONeill mengatakan PNG mendorong agar hal ini diajukan ke komite dekolonisasi PBB.
“Kita perlu mendorong anggota regional kami yang berada di garis depan negosiasi, yang berurusan dengan agenda dan diskusi tentang West Papua untuk diserahkan kepada komite dekolonisasi PBB,” kata ONeill.
ONeill beberapa kali membuat pernyataan kekhawatiran negaranya tentang pelanggaran hak asasi manusia di West Papua, meskipun pemerintahannya secara resmi mendukung kedaulatan Indonesia di bagian barat New Guinea.
Namun dua tahun lalu, O’Neill menyatakan keinginan PNG agar rakyat West Papua memiliki otonomi yang lebih besar. (*)
MSG Secretariat invited to attend the United Nations (UN) Pacific Regional Seminar on the ‘implementation of the 3rd International Decade for the Eradication of Colonialism: towards the achievement of the sustainable development goals in the Non-Self-Governing Territories: Social, economic and environmental challenges” in Grenada
FLNKS/MSG Secretariat with MSG Permanent Representatives at the United Nations
07 May 2018
(Pre-Duty Travel Press Release)
Consistent with the 2018 Action Plan/Roadmap in support for the FLNKS Self-determination process in Kanak New Caledonia adopted by MSG Leaders during the 21st Leaders’ Summit held in February this year in Port Moresby, Papua New Guinea, the Secretariat had been participating in a number of international forums to promote the referendum in New Caledonia.
This week the MSG Secretariat was invited to attend the Pacific Regional Seminar on the ‘implementation of the 3rd International Decade for the Eradication of Colonialism: towards the achievement of the sustainable development goals in the Non-Self-Governing Territories: Social, economic and environmental challenges” that will be held from 9-11 May 2018 in Grenada.
The MSG Secretariat will be represented by Programme Manager Political & Security Affairs Mr Ilan Kiloe who will join Mr Mickael Forrest, Permanent Secretary of FLNKS External Affairs. MSG Secretariats’ participation in this important global process to support FLNKS as one of the original founding member of the MSG is vitally important in terms of implementing the Leaders decision.
For further information, please contact Mr Ilan Kiloe- Programme Manager Political and Security Affairs via email i.kiloe@msg.int.
Source: MSG Secretariat