Home » The Origin of Blond Afros in Melanesia » Pentingnya sembuhkan trauma di Bougainville sebelum referendum

Pentingnya sembuhkan trauma di Bougainville sebelum referendum

by mnews

Oleh Catherine Wilson

Pasar Buka di Bougainville. -Lowy Institute/ Catherine Wilson

Dalam beberapa bulan ke depan, perhatian kita di wilayah Pasifik akan beralih pada Bougainville dan referendum kemerdekaannya dari Papua Nugini, yang dijadwalkan Juni tahun depan.

Namun di belakang layar, proyek jangka panjang dalam pembinaan perdamaian dan rekonstruksi pascaperang di wilayah otonomi PNG itu, terus memakan berbagai sumber daya milik kementerian pemerintah, organisasi non-pemerintah, serta masyarakat.

Infrastruktur dan pelayanan umum telah pelan-pelan membaik, tetapi masih ada rasa duka dan sedih berkepanjangan yang dirasakan di rumah-rumah dan desa-desa, terkait berbagai kekejaman yang terjadi selama masa konflik sipil, kerap disebut sebagai “the Crisis”, dari tahun 1989-1998, dimana belum ada proses pengungkapan kebenaran (truth-telling) atau keadilan transisional.

Ini adalah subjek yang sensitif. Namun, banyak orang dari seluruh pulau itu yang telah saya ajak wawancara selama dua tahun terakhir memprediksikan konsekuensi yang tertunda, tidak harus terjadi saat referendum, tetapi di tahun-tahun mendatang setelahnya. Helen Hakena dari badan pengembangan perempuan setempat, Leitana Nehan, berbicara dengan saya. Konsekuensinya masih akan terus ada, katanya:

Ini benar-benar tidak adil, ketika Anda, pelaku, bisa bergerak maju dengan hidup Anda seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi, tetapi saya [korban] tidak bisa. Para leluhur menceritakan pengalaman negatif mereka kepada anak-anak mereka, yang akan terus membenci keluarga dan keturunan pelaku. Konsekuensi ini akan terjadi beberapa tahun kemudian.”

Memperjuangkan keadilan bagi para korban merupakan tantangan yang sangat besar, mengingat tidak ada penyelidikan mendalam tentang apa yang terjadi dalam era penuh keganasan itu, dan seberapa besar skalanya.

Perang sipil di Bougainville berkecamuk selama satu dekade, setelah pemilik tanah pribumi dongkol akibat hancurnya lingkungan, dan maraknya ketidakadilan terkait tambang tembaga Panguna, yang mayoritas dimiliki oleh Rio Tinto, melancarkan kampanye serangan bersenjata untuk menutup tambang itu.

Sampai 20.000 jiwa, atau 10% dari populasi Bougainville saat itu, kehilangan nyawa mereka. Laporan seputar konflik itu termasuk pembantaian, penghukuman mati di luar hukum, penyiksaan, pemerkosaan massal, dan penculikan. Sebuah studi mengenai kesehatan jiwa baru-baru ini, menemukan dampak jangka panjang kekejaman tersebut terhadap masyarakat Bougainville, seperti tingginya tingkat trauma yang tidak diobati, KDRT dan penyalahgunaan narkoba, dan hancurnya nilai-nilai budaya, hubungan, dan kesejahteraan generasi pascaperang.

Hukum internasional mendukung hak-hak mereka yang pernah menjadi korban kekejaman, untuk mengetahui nasib keluarga mereka dan memastikan keadilan dicapai, sementara para ahli menegaskan pentingnya penyelesaian isu-isu ketidakadilan di masa lalu, untuk mencegah kesedihan yang berkelanjutan dari memicu konflik lainnya di masa depan.

Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM segera setelah perdamaian dicapai di Bougainville, pada tahun 2001, diragukan peluang keberhasilannya, mengingat saat itu beberapa kelompok bersenjata masih menolak untuk bergabung dalam prosesi perdamaian, dan banyak pelaku masih bersenjata. Tujuh tahun kemudian, proposal Pemerintah Bougainville untuk membentuk dan memulai suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, masih dianggap terlalu berisiko dan akhirnya ditelantarkan.

Tetapi, sekarang orang-orang lokal juga mulai berbicara tentang konsekuensi dari penghukuman atau impunitas, seperti meningkatnya berbagai bentuk tindakan ‘keadilan lokal’. Contohnya termasuk pembunuhan untuk balas dendam, dan pembunuhan terkait sihir yang dilakukan oleh sejumlah kelompok main hakim sendiri dan mencari pembalasan, atas kekerasan yang terjadi selama ‘the Crisis’.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia telah melaporkan bahwa:

Populasi ini sekarang masih beradab satu terhadap yang lain, tetapi ini adalah permainan saling menunggu… sampai perasaan saling tidak menyukai yang selama ini terpendam itu meledak, karena tidak adanya mekanisme keadilan transisional untuk menghadapi kebenaran dan menyelesaikannya.”

Pemerintah Bougainville, mengakui defisit ini, memperkenalkan kebijakan orang hilang pada tahun 2014 untuk membantu keluarga-keluarga mencari dan mengambil sisa tulang belulang orang yang mereka cintai. Tetapi empat tahun kemudian, progresnya sangat lambat; persiapan pekerjaan yang susah payah, belum lagi proses penggalian dan identifikasi yang mahal, akan memakan waktu hingga bertahun-tahun.

Alex Amon, pemimpin kelompok orang muda di Pulau Buka, mengungkapkan bahwa, meskipun jutaan kina sudah dihabiskan untuk upacara rekonsiliasi, “masih ada sesuatu yang tersembunyi di kegelapan.” Dia juga menyarankan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi “sehingga orang-orang dapat berbicara jujur tentang apa yang sebenarnya mereka rasakan di dalam hati.”

Banyak orang lainnya di pergerakan akar rumput, lebih memilih proses pengungkapan kebenaran tradisional yang telah digunakan dari generasi ke generasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rosemary Moses dari Federasi Perempuan Bougainville di Bougainville Tengah:

Kita punya upacara-upacara tradisional di mana semua orang berkumpul bersama, para pelaku dan korban dan semua pihak lainnya yang juga terpengaruh, dan mereka akan menghancurkan dan membuang semuanya. Bagi saya itu sangat mirip dengan komisi kebenaran, di mana, pada akhirnya, mereka berkata, ini yang sudah kami lakukan.”

Namun, ia juga mengatakan pendekatan ini belum dilakukan secara konsisten di seluruh wilayah.

Ada juga risiko terkait dengan membuka kembali luka lama komunitas yang terkena dampak perang. Dan masih ada halangan dalam mendorong semua korban untuk terbuka tentang pengalaman mereka, termasuk kendala budaya dalam topik-topik tertentu yang dianggap terlalu sensitif untuk didiskusikan secara terbuka, seperti pelanggaran dan kekerasan seksual, yang juga dapat mengundang stigma sosial dan penolakan masyarakat, dan tingginya tingkat buta aksara dan rendahnya pengetahuan tentang hukum di tingkat desa.

Dapat dimengerti bahwa referendum yang akan datang adalah fokus dari perhatian mereka saat ini, dan, dengan emosi dan ekspektasi yang tinggi, semakin erat kesatuan sosial semakin baik. Tetapi, ada juga keresahan yang dirasakan banyak orang tentang bagaimana masyarakat Bougainville pascakonflik akan berevolusi ke generasi berikutnya, jika trauma masa perang dan impunitas masih menghantui ingatan mereka. (The Interpreter by Lowy Institute 11/10/2018)

Catherine Wilson adalah seorang jurnalis lepas dan koresponden, yang seringkali menulis tentang Papua Nugini dan wilayah Kepulauan Pasifik.

Sumber: (Jubi)

You may also like

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00