Abraham, BBC Indonesia
Pemerintah Indonesia menegaskan tidak dapat mencegah negara-negara di kawasan Pasifik Selatan mengangkat kasus pelanggaran HAM di Papua ke Sidang Umum PBB.
Soalnya, seperti dijelaskan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, setiap negara anggota PBB mendapat hak untuk membicarakan perihal apapun di forum sidang umum.
“Semua negara bebas menyampaikan pendapat. Itu hak mereka,” ujarnya usai memaparkan capaian kinerja Kementerian Luar Negeri di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Kamis (26/10).
Namun para diplomat Indonesia di PBB bisa menjawab semua tuntutan dan desakan yang muncul tersebut dengan pemaparan kemajuan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
- Pencopotan Kapolsek di Papua: Apa sesudah itu?
- Bagaimana kronologis tiga kasus ‘pelanggaran HAM berat’ di Papua?
- Tiga tahun Jokowi: Bagaimana politik, hukum dan HAM?
“Hak kami adalah menjelaskan pembangunan yang dilakukan di Papua, perkembangan komprehensif dan lain-lain, itu sudah kami jelaskan,” kata Retno.
Secara diplomatik, tambah Retno, Indonesia sebenarnya secara konsisten berupaya membangun hubungan dengan negara-negara di Pasifik Selatan.
Hubungan itu dijalin bukan hanya dengan secara aktif menghadiri forum multilateral yang digelar di kawasan, namun -tegas Menlu Retno- Indonesia juga sempat membantu Fiji dan Vanuatu, dua negara di Pasifik selatan, yang dilanda bencana alam tahun 2015.
“Presensi Indonesia untuk semua forum di kawasan itu sangat kelihatan, baik dalam MSG (Melanesian Spearhead Group), PIF (Pacific Islands Forum), dan PIDF (Pacific Island Development Forum),” ujar Retno.
Namun, Retno menyebut pemerintah Indonesia tidak akan bersedia membahas isu tentang penentuan hak sendiri, kemerdekaan, dan separatisme.
“Di situlah titik kami berhenti. Pemerintah tidak akan mundur satu inci pun jika bicara separatisme,” tegasnya.
‘Harus terbuka’
Ketua Tim Kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth, menilai tanggapan para diplomat terhadap desakan negara Pasifik Selatan selama ini masih kurang tepat.
Menurut Adriana, pemerintah sepatutnya tak hanya memaparkan capaian pembangunan infrastruktur, tapi juga mengakui adanya sejumlah pelanggaran hak sosial politik yang masih terjadi di Papua dan Papua Barat.
Di era keterbukaan informasi berbasis teknologi, kata Adriana, peristiwa apapun di Papua dapat diketahui masyarakat luas, termasuk negara-negara lain.
“Yang tidak pernah disentuh adalah faktor sipil-politik, seperti kebebasan berekspresi dan kekerasan oleh aparat dan sipil bersenjata. Ini tidak disampaikan secara diplomatis sehingga pemerintah seolah defensif,” ujarnya.
Ditambahkannya bahwa menilai desakan terkait Papua dari dalam negeri maupun negara-negara Pasifik Selatan di forum global berpotensi untuk terus bergulir karena -selain ikatan emosional di antara ras Melanesia- juga disebabkan karena penyelesaian persoalan Papua yang belum menyeluruh.
“Kekecewaan atas capaian pemerintah tidak bisa ditolak karena bagi mereka infrastruktur bukan satu-satunya persoalan di Papua,” kata Adriana.
Dalam dua tahun terakhir, isu Papua selalu muncul di sidang umum PBB.
September lalu misalnya, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, meminta Dewan HAM PBB menyelidiki pelbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Dalam sidang yang sama, PM Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga, mendorong agar PBB ikut serta mengadvokasi penentuan nasib sendiri untuk warga Papua.
Adapun, Louis Straker, Perdana Menteri Saint Vincent dan Grenadine -negara di Kepulauan Karibia- menuding dekolonisasi di Papua belum berakhir. “Upaya intensif penting untuk mewujudkan pemerintah mandiri dan kesetaraan politik di Papua,” kata Straker,
Permintaan itu lantas dijawab oleh Sekretaris III Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB, Ainan Nuran, dengan menyebut isu pelanggaran HAM di Papua merupakan berita bohong.
“Provinsi Papua dan Papua Barat adalah bagian dari kesatuan dan kedaulatan Indonesia. Keduanya akan selalu menjadi bagian kesatuan Indonesia.”
“Negara-negara tersebut dengan bodohnya tertipu oleh individu yang memiliki agenda separatis untuk mengeksploitasi isu HAM,” kata Ainun.
Sementara September tahun sebelumnya, diplomat muda Indonesia lainnya untuk PBB, Nara Masista Rakhmatia, menyebut pemerintah tidak pernah menutup kasus apapun di Papua.
“Mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa,” kata Nara.
Dalam catatan Setara Institute, pada tahun 2016 setidaknya terjadi 107 pelanggaran bernuansa HAM di Papua, yang meningkat dari 16 kasus pada tahun 2015 dan 68 kasus sepanjang 2014.
Pemerintah Indonesia -lewat Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan- pernah membentuk tim khusus untuk menuntaskan 12 kasus HAM di Papua, antara lain kasus Wamena, kasus Kongres Rakyat Papua III, dan penghilangan Aristoteles, sopir Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Aluay.
Aluay sendiri tewas ditembak aparat keamanan Indonesia pada 10 November 2001 lalu.
Tim lintas lembaga itu awalnya ditargetkan menyelesaikan seluruh perkara tersebut tahun 2016 namun kinerja tim itu agaknya tak berlanjut ketika Kemenko Polhukam dipimpin oleh Wiranto, ,mantan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI.