139
Oleh Richard Eves, TabloidJubi.com
Seringkali dianggap bahwa perempuan akan lebih berdaya ketika mereka memperoleh pemasukan, dan hal ini bisa menempatkan mereka pada posisi yang lebih kuat, untuk bernegosiasi dengan pasangan mereka. Namun, ini tidak selamanya benar. Begitu juga dengan pandangan bahwa memiliki pendapatan akan mengurangi kekerasan laki-laki terhadap istri mereka. Bahkan, mereka yang mencoba mempromosikan kesetaraan gender melalui berbagai inisiatif pemberdayaan ekonomi, seringkali menghadapi komplikasi yang membingungkan, bahwa upaya mereka mungkin akan mendatangkan dampak negatif yang tidak diinginkan, memajukan satu aspek dari kehidupan perempuan tetapi merusak aspek lainnya.
Penelitian terkait kekerasan dalam rumah tangga, dinamakan ‘Do no harm’ (DNH), yang diadakan antara tahun 2014 dan 2018, berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara meningkatkan kapasitas ekonomi perempuan, dan keberlanjutan mata pencaharian mereka tanpa mengorbankan keselamatan mereka.
Untuk memahami realitas yang dihadapi perempuan dalam upaya mengembangkan situasi ekonomi mereka, penelitian ini merangkum laporan lisan yang rinci dari para perempuan, tentang pekerjaan dan kehidupan rumah tangga mereka. Penelitian lapangan di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini dan berhasil mengamankan 485 wawancara – 238 wawancara dengan perempuan dan 135 diskusi mendalam dengan pemimpin-pemimpin lokal yang intelek, baik perempuan maupun laki-laki.
Para perempuan yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini menghargai kesempatan yang mereka miliki, untuk mendapatkan pemasukan dan berbicara secara positif tentang manfaatnya bagi mereka. Namun, seperti yang mereka katakan kepada kami, memiliki penghasilan juga mendatangkan dampak negatif, termasuk beban kerja tambahan, kesulitan untuk menemukan penitipan anak, dan meningkatnya permintaan uang dari suami dan kerabat. Secara keseluruhan, kami menemukan bahwa pasangan mereka jarang ada yang setuju tentang pengeluaran rumah tangga, dan pemasukan perempuan justru sering membawa konflik dalam perkawinan dan kekerasan.
Sebagian besar konflik dan kekerasan yang terkait dengan uang menyangkut laki-laki yang menuntut atau merampas uang dari istri mereka. Sebagian dari konflik terjadi karena suami berharap memiliki kontrol penuh atas semua penghasilan yang dibawa pasangannya, bahkan ketika dia sama sekali tidak berkontribusi dalam mendatangkan pemasukan tersebut.
Konflik-konflik lain terkait uang terjadi akibat prioritas dalam pengeluaran uang, istri biasanya lebih memprioritaskan kebutuhan keluarga, sementara laki-laki memprioritaskan keinginan mereka sendiri. Sebagian dari para suami menyuruh istri mereka untuk meminta izin sebelum setiap pengeluaran, tetapi mereka sendiri tidak meminta persetujuan istrinya mengenai pengeluaran mereka. Jika seorang perempuan berani menantang permintaan ini, konflik kekerasan kemungkinan besar akan terjadi.
Selain itu, beberapa laki-laki juga marah jika istri mereka tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti yang mereka harapkan. Namun, laki-laki juga jarang membantu istri mereka dengan pekerjaan rumah tangga, seperti bersih-bersih, memasak, berkebun, dan merawat anak, bahkan ketika sang istri bekerja keras untuk mendatangkan pemasukan bagi rumah tangga mereka.
Penelitian ini juga menemukan bahwa banyak laki-laki yang mengurangi kontribusi mereka sendiri untuk rumah tangga, atau tidak memberikan kontribusi apa pun, jika istri mereka mulai mendapatkan pendapatan. Di semua populasi yang dipelajari, perempuan seringkali mengambil tanggung jawab penuh untuk menghidupi keluarga dan rumah tangganya, bahkan ketika pasangan mereka memiliki pemasukan.
Dampak dari perilaku laki-laki seperti itu kepada beban kerja perempuan dan kesejahteraan rumah tangga merupakan sumber ketidakpuasan, dan sering mengakibatkan konflik dalam rumah tangga. Konflik sering terjadi ketika perempuan menolak permintaan uang pasangannya, atau mempertanyakan pengeluaran suami mereka yang boros.
Banyak perempuan yang melaporkan bahwa konsumsi alkohol pasangan mereka – terutama dalam pesta minuman keras yang berlangsung hingga berhari-hari – merupakan sumber utama perselisihan dalam perkawinan. Kaum perempuan, secara konsisten, melaporkan bahwa menolak permintaan uang untuk membeli minuman beralkohol, atau mempertanyakan pengeluaran rumah tangga untuk alkohol adalah pemicu tindak kekerasan. Laki-laki benci dipertanyakan oleh istri mereka karena telah menghambur-hamburkan uang untuk diri mereka sendiri, dan menelantarkan keluarga mereka, dan ini sering menjadi penyebab kekerasan laki-laki terhadap pasangan mereka.
Sangat penting untuk memperhitungkan potensi KDRT dengan dalam desain intervensi pemberdayaan ekonomi perempuan, seperti yang telah disorot dalam literatur internasional baru-baru ini. Panduan dari Kementerian urusan bantuan Pembangunan Internasional UK (Department for International Development; DFID) baru-baru ini menyatakan, bahwa program-program yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja bisnis perempuan, atau meningkatkan pemasukan mereka terancam oleh dampak KDRT. Untuk menghapuskan risiko itu dan mengoptimalkan manfaat pembangunan ekonomi, tim penulis itu menekankan pentingnya program-program tersebut untuk mengatasi isu kekerasan terhadap perempuan.
Penelitian DNH ini menyediakan wawasan tentang dinamika kekuasaan antargender yang terjadi dalam hubungan pernikahan, faktor-faktor khusus yang menghambat upaya perempuan untuk meningkatkan pendapatan mereka dan risiko kekerasan di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini.
Mengingat pentingnya penegasan yang ditempatkan pada pemberdayaan ekonomi perempuan oleh organisasi-organisasi donor, LSM, dan pemerintah, penting sekali untuk mengakui bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan, terkadang membawa risiko bagi perempuan yang harus dipertimbangkan oleh program-program pembangunan, sesuatu yang telah dipelajari dalam penelitian ini di PNG, termasuk di Bougainville, dan di Kepulauan Solomon. (Development Policy Centre, Australian National University)
Penelitian ini merupakan kerja sama antara Departemen urusan Pasifik Universitas Nasional Australia (sebelumnya bertajuk program State, Society and Governance in Melanesia Program) dan LSM International Women’s Development Agency (IWDA) dan didanai oleh PemerintahÂ
Oleh Richard Eves, TabloidJubi.com
Seringkali dianggap bahwa perempuan akan lebih berdaya ketika mereka memperoleh pemasukan, dan hal ini bisa menempatkan mereka pada posisi yang lebih kuat, untuk bernegosiasi dengan pasangan mereka. Namun, ini tidak selamanya benar. Begitu juga dengan pandangan bahwa memiliki pendapatan akan mengurangi kekerasan laki-laki terhadap istri mereka. Bahkan, mereka yang mencoba mempromosikan kesetaraan gender melalui berbagai inisiatif pemberdayaan ekonomi, seringkali menghadapi komplikasi yang membingungkan, bahwa upaya mereka mungkin akan mendatangkan dampak negatif yang tidak diinginkan, memajukan satu aspek dari kehidupan perempuan tetapi merusak aspek lainnya.
Penelitian terkait kekerasan dalam rumah tangga, dinamakan ‘Do no harm’ (DNH), yang diadakan antara tahun 2014 dan 2018, berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara meningkatkan kapasitas ekonomi perempuan, dan keberlanjutan mata pencaharian mereka tanpa mengorbankan keselamatan mereka.
Untuk memahami realitas yang dihadapi perempuan dalam upaya mengembangkan situasi ekonomi mereka, penelitian ini merangkum laporan lisan yang rinci dari para perempuan, tentang pekerjaan dan kehidupan rumah tangga mereka. Penelitian lapangan di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini dan berhasil mengamankan 485 wawancara – 238 wawancara dengan perempuan dan 135 diskusi mendalam dengan pemimpin-pemimpin lokal yang intelek, baik perempuan maupun laki-laki.
Para perempuan yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini menghargai kesempatan yang mereka miliki, untuk mendapatkan pemasukan dan berbicara secara positif tentang manfaatnya bagi mereka. Namun, seperti yang mereka katakan kepada kami, memiliki penghasilan juga mendatangkan dampak negatif, termasuk beban kerja tambahan, kesulitan untuk menemukan penitipan anak, dan meningkatnya permintaan uang dari suami dan kerabat. Secara keseluruhan, kami menemukan bahwa pasangan mereka jarang ada yang setuju tentang pengeluaran rumah tangga, dan pemasukan perempuan justru sering membawa konflik dalam perkawinan dan kekerasan.
Sebagian besar konflik dan kekerasan yang terkait dengan uang menyangkut laki-laki yang menuntut atau merampas uang dari istri mereka. Sebagian dari konflik terjadi karena suami berharap memiliki kontrol penuh atas semua penghasilan yang dibawa pasangannya, bahkan ketika dia sama sekali tidak berkontribusi dalam mendatangkan pemasukan tersebut.
Konflik-konflik lain terkait uang terjadi akibat prioritas dalam pengeluaran uang, istri biasanya lebih memprioritaskan kebutuhan keluarga, sementara laki-laki memprioritaskan keinginan mereka sendiri. Sebagian dari para suami menyuruh istri mereka untuk meminta izin sebelum setiap pengeluaran, tetapi mereka sendiri tidak meminta persetujuan istrinya mengenai pengeluaran mereka. Jika seorang perempuan berani menantang permintaan ini, konflik kekerasan kemungkinan besar akan terjadi.
Selain itu, beberapa laki-laki juga marah jika istri mereka tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti yang mereka harapkan. Namun, laki-laki juga jarang membantu istri mereka dengan pekerjaan rumah tangga, seperti bersih-bersih, memasak, berkebun, dan merawat anak, bahkan ketika sang istri bekerja keras untuk mendatangkan pemasukan bagi rumah tangga mereka.
Penelitian ini juga menemukan bahwa banyak laki-laki yang mengurangi kontribusi mereka sendiri untuk rumah tangga, atau tidak memberikan kontribusi apa pun, jika istri mereka mulai mendapatkan pendapatan. Di semua populasi yang dipelajari, perempuan seringkali mengambil tanggung jawab penuh untuk menghidupi keluarga dan rumah tangganya, bahkan ketika pasangan mereka memiliki pemasukan.
Dampak dari perilaku laki-laki seperti itu kepada beban kerja perempuan dan kesejahteraan rumah tangga merupakan sumber ketidakpuasan, dan sering mengakibatkan konflik dalam rumah tangga. Konflik sering terjadi ketika perempuan menolak permintaan uang pasangannya, atau mempertanyakan pengeluaran suami mereka yang boros.
Banyak perempuan yang melaporkan bahwa konsumsi alkohol pasangan mereka – terutama dalam pesta minuman keras yang berlangsung hingga berhari-hari – merupakan sumber utama perselisihan dalam perkawinan. Kaum perempuan, secara konsisten, melaporkan bahwa menolak permintaan uang untuk membeli minuman beralkohol, atau mempertanyakan pengeluaran rumah tangga untuk alkohol adalah pemicu tindak kekerasan. Laki-laki benci dipertanyakan oleh istri mereka karena telah menghambur-hamburkan uang untuk diri mereka sendiri, dan menelantarkan keluarga mereka, dan ini sering menjadi penyebab kekerasan laki-laki terhadap pasangan mereka.
Sangat penting untuk memperhitungkan potensi KDRT dengan dalam desain intervensi pemberdayaan ekonomi perempuan, seperti yang telah disorot dalam literatur internasional baru-baru ini. Panduan dari Kementerian urusan bantuan Pembangunan Internasional UK (Department for International Development; DFID) baru-baru ini menyatakan, bahwa program-program yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja bisnis perempuan, atau meningkatkan pemasukan mereka terancam oleh dampak KDRT. Untuk menghapuskan risiko itu dan mengoptimalkan manfaat pembangunan ekonomi, tim penulis itu menekankan pentingnya program-program tersebut untuk mengatasi isu kekerasan terhadap perempuan.
Penelitian DNH ini menyediakan wawasan tentang dinamika kekuasaan antargender yang terjadi dalam hubungan pernikahan, faktor-faktor khusus yang menghambat upaya perempuan untuk meningkatkan pendapatan mereka dan risiko kekerasan di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini.
Mengingat pentingnya penegasan yang ditempatkan pada pemberdayaan ekonomi perempuan oleh organisasi-organisasi donor, LSM, dan pemerintah, penting sekali untuk mengakui bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan, terkadang membawa risiko bagi perempuan yang harus dipertimbangkan oleh program-program pembangunan, sesuatu yang telah dipelajari dalam penelitian ini di PNG, termasuk di Bougainville, dan di Kepulauan Solomon. (Development Policy Centre, Australian National University)
Penelitian ini merupakan kerja sama antara Departemen urusan Pasifik Universitas Nasional Australia (sebelumnya bertajuk program State, Society and Governance in Melanesia Program) dan LSM International Women’s Development Agency (IWDA) dan didanai oleh PemerintahÂ