
Kaledonia Baru. – Lowy Institute/ NASA Visible Earth
Oleh Luke Dawes. Dicopy dari TabloidJubi.com
Perseteruan diplomatik terbesar antara Fiji dan Vanuatu di zaman modern, bukan disebabkan oleh perubahan iklim, tata pemerintahan, atau investasi Tiongkok di Pasifik Selatan, tetapi oleh biskuit.
Vanuatu secara sepihak menerapkan larangan atas produk biskuit Fiji pada tahun 2005, dan Fiji menanggapi dengan melarang impor kava dari Vanuatu. Pada akhir krisis itu, sebuah perusahaan biskuit Fiji telah menghentikan puluhan staf dan rugi lebih dari $ 2 juta dalam produk yang rusak, sementara petani kava berpenghasilan rendah di Vanuatu putus aksesnya ke pasar terpenting mereka.
Kelompok Melanesian Spearhead Group (MSG), pengelompokan sub-regional Pasifik, adalah forum dimana kedua negara akhirnya bisa menyelesaikan perselisihan mereka. MSG memperkenalkan area perdagangan bebas, kebijakan yang sejauh ini telah berhasil mencegah perang biskuit dari terulang kembali. Tetapi sekarang, MSG memerlukan mekanisme politik baru, untuk mengatasi perubahan lanskap geopolitik di Pasifik Selatan, jika ingin terus mendorong perdagangan terbuka.
Kemenangan di muka dan tantangan-tantangan baru
MSG sebelumnya telah terbukti mampu memfasilitasi negara-negara anggotanya melalui sejumlah kontribusi yang sangat berarti di Pasifik Selatan. Pada tahun 2010, Kepulauan Solomon menyelenggarakan upacara rekonsiliasi adat, ketika Vanuatu menolak untuk menyerahkan kepemimpinan MSG ke Fiji, mengungkapkan kekhawatiran mereka karena Fiji belum transisi menuju demokrasi setelah kudeta militer empat tahun sebelumnya – hal ini sangat penting karena saat itu Fiji sedang diskors, dari hampir semua forum internasional.
MSG juga mendorong diresmikannya gerakan kemerdekaan Papua Barat, sebuah provinsi di Indonesia: dimana tiga fraksi telah bergabung untuk membentuk United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) pada tahun 2014, dan telah mengajukan permohonan untuk status keanggotaan penuh pada pertemuan terakhir di Februari.
ULMWP mungkin harus menunggu beberapa saat.
Dua anggota MSG lainnya akan menghadapi pemungutan suara, untuk menentukan kemerdekaan dalam satu tahun ke depan, dari dua sisi berlawanan, penyelenggara dan pemilih. Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) berkampanye agar Kaledonia Baru, bisa merdeka dari Prancis pada bulan November mendatang, tetapi satu jajak pendapat tahun lalu menunjukkan, bahwa sebagian dari pemilih cenderung memilih untuk tetap menjadi bagian dari Prancis, sementara seperlimanya belum memutuskan suara.
Papua Nugini, di sisi lain, diperkirakan akan mengadakan pemungutan suara di Pulau Bougainville, Juni mendatang. Secara umum diperkirakan bahwa provinsi kaya mineral yang penuh pergolakan itu akan menuntut kemerdekaan. Kedua pemilihan itu membawa masalah.
Komitmen pendanaan dan peluang munculnya dua negara baru
Jika Kaledonia Baru memilih untuk tetap menjadi bagian dari Prancis, mereka mungkin akan bertanya apakah FLNKS, dan bukan pemerintah negara, berhak untuk mewakilinya dalam MSG. Jika Bougainville memenangkan pemilihan itu, MSG akan ditempatkan dalam posisi yang sulit: Perdana Menteri PNG Peter O’Neill mungkin tidak akan menerima kemerdekaan Bougainville, tetapi MSG berprinsip untuk menentang semua yang dinilai sebagai pemerintahan kolonial di Pasifik Selatan.
Vanuatu tetap konsisten dan tegas bahwa kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia, adalah salah satu tujuan utama kebijakan luar negerinya, tetapi Indonesia tidak mungkin akan tenang jika provinsi separatis itu diberikan keanggotaan penuh, sementara negaranya hanya memegang status anggota rekanan. Dan untuk lebih mempersulit keadaan ini, Menteri Luar Negeri Vanuatu, Ralph Regenvanu, telah mempertanyakan relevansi MSG sebagai suatu organisasi regional – ULMWP juga mungkin akan bertanya-tanya mengapa ia harus terus menghabiskan waktu dan sumber daya, untuk berupaya mendapatkan keanggotaan MSG jika sponsor politik utamanya sudah kehilangan kepercayaan, kepada forum regional satu-satunya dimana ia memiliki perwakilan tetap.
Selain itu, anggota-anggota juga tidak memenuhi komitmen finansial mereka kepada MSG. Sebelumnya ada beberapa bantuan – Tiongkok dan Uni Eropa sebelumnya telah memberikan sumbangan, dan PNG menawarkan Fiji sekitar AU$ 20 juta, untuk mendukung kembalinya Fiji pada demokrasi, melalui pemilihan umum pada tahun 2014 – tetapi setiap anggota yang wajib berkontribusi, juga perlu mempertimbangkan prioritas domestiknya sendiri.
Para pemimpin MSG perlu mengembangkan roadmap kebijakan, untuk dapat mengelola munculnya negara-negara baru dan menentukan pengeluaran untuk mendanai MSG.
Mengasah kembali MSG
Ada banyak peluang bagi MSG untuk berbuat jauh lebih banyak. Pertama-tama, MSG harus memperluas manfaat dari inisiatif MSG yang ada, khususnya, kepada semua warga Kaledonia Baru dan Bougainville. Upaya ini akan menunjukkan bahwa MSG bisa menawarkan sesuatu yang berharga, sambil bekerja membuat roadmap untuk keanggotaan penuh negara-negara yang baru di Pasifik Selatan.
Manfaat ini bisa termasuk kuota terpisah untuk Kaledonia Baru dan Bougainville, sebagai bagian dari skema Skills Movement Scheme MSG, yang bertujuan untuk mendorong mobilitas tenaga kerja, dan mempertimbangkan pemberian status pengamat untuk sementara.
Kedua, MSG harus memberikan status anggota rekanan kepada ULMWP, setara dengan yang diberikannya kepada Indonesia. Hal ini, mudah-mudahan, akan mendorong Vanuatu untuk tetap terlibat, seraya mengurangi kekhawatiran PNG dan Fiji, yang memiliki hubungan perdagangan kuat dengan Indonesia.
Hal ini juga memastikan bahwa dialog mengenai isu penting ini bisa dilanjutkan, sesuatu yang sulit dilakukan di tempat lain yang lebih besar, seperti Forum Kepulauan Pasifik (PIF).
Akhirnya – dan mungkin yang paling penting – para anggota perlu memenuhi komitmen keuangan mereka.
Jika donasi dari luar dianggap menyesakkan secara politis, maka negara-negara anggota MSG harus mulai merogoh kaleng biskuit mereka masing-masing, atau mengakui bahwa ketidakmampuan kolektif dalam mengelola tantangan-tantangan yang akan datang seperti ini, bisa jadi meruntuhkan mereka. (The Interpreter by Lowy Institute, 12/09/2018)