201
Guam, Jubi – Kesadaran bangsa-bangsa asli Kepulauan Pasifik untuk menyelamatkan bahasa ibunya kini kian meningkat. Baru-baru ini, pemerintah Guam membentuk kembali sebuah komisi bahasa asli Chamorro yang telah 20 tahun ini mengalami mati suri.
Diketuai mantan senator, Hope Christobal, komisi bahasa asli Chamorro akan ditugaskan untuk memperbaharui aturan ortografi bahasa, menstandarisasi bahasa Camorro di Mariana dan menyusun kurikulum sekolah.
Christobal mengatakan bahwa anggota komisi dipilih dari kalangan melek sejarah, bahasa dan pendidikan Chamorro. Undang-undang yang melandasi pembentukan kembali komisi ini menggunakan istilah “Chamoru” dalam teks undang-undang. Beberapa ahli berpendapat bahwa “chamoru” adalah pengejaan paling benar terhadap nama suku dan bangsa asli Guam itu.
Kesadaran untuk menghidupkan kembali eksistensi bahasa asli ini bukan pertama kali dilakukan. Akhir tahun lalu, Guam membuat langkah besar dengan membuka sekolah bahasa Chamorro pertama di negara itu.
Jumlah penduduk yang masih menggunakan bahasa asli Guam dilaporkan terus menurun dan sudah mencapai tahap kritis dibandingkan beberapa dekade lalu. Jumlah penutur bahasa Chamorro hanya tercatat kurang lebih 25.000 orang yang kebanyakan berusia lebih dari 50 tahun.
Rufina Mendiola dari Divisi Chamorro Departemen Pendidikan Guam mengatakan bahwa selama ini pihaknya telah menerima permintaan penduduk untuk membuka sekolah berbahasa Chamorro. Sekolah tersebut mirip dengan sekolah berbahasa asli yang telah lebih dulu dibangun di Hawaii dan Selandia Baru.
Pembentukan sekolah Chamorro berarti niat pemerintah untuk mencetak generasi penutur bahasa asli Chamorro sangat besar. Mendiola mengatakan, sekolah berbahasa Chamorro ini akan mulai aktif melangsungkan kegiatan belajar mengajar dan menerima siswa baru pada tahun ini.
“Kami ingin memulai dari awal yaitu dengan membuka taman kanak-kanak dengan jumlah murid kurang lebih 18 orang. Lalu jika setiap tahun jumlah pendaftar makin banyak, kami akan membuka sekolah lain,” ujarnya.
Upaya penyelamatan bahasa asli Chamorro telah dimulai sejak pemerintah Amerika Serikat menggelontorkan dananya senilai 200 ribu dolar Amerika Serikat kepada pemerintah Guam dan Kepulauan Mariana Utara pada tahun 2013.
Universitas Guam saat itu kebagian tugas untuk mengatur pusat pendidikan bahasa Chamorro di tingkat sekolah menengah. Bantuan ini merupakan bantuan pertama kali diberikan untuk digunakan selama tiga tahun proyek berlangsung.
Perwakilan Kongres AS di Guam, Madeleine Bordallo mengatakan bahwa uang tersebut digunakan untuk memastikan agar para siswa kelas bahasa Chamorro menerima hak pendidikan yang sama dengan kelas internasional. Selain itu, tujuan utamanya yaitu melestarikan kebudayaan tradisional dan bahasa asli.
Selamatkan bahasa Niue
Gerakan penyelamaan bahasa asli juga tengah menggema di Niue. Para pemimpin Niue menyerukan agar penduduk asli Niue dan penduduk Niue yang bermukim di luar negeri untuk melestarikan bahasa Niue, Vagahau.
Pertengahan bulan lalu, mereka menggelar konferensi bertajuk Konferensi Vagahau Niue yang dihadiri oleh berbagai pembicara dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan perusahaan dari seluruh Pasifik Selatan.
Konferensi yang berlangsung di desa Mutalau itu berfokus untuk membantu penduduk Niue menggunakan bahasa asli mereka dalam rangka menyelamatkan kebudayaan mereka. Jumlah penduduk Niue saat ini mencapai 1.600 orang dan 30.000 orang lainnya bermukim di luar negeri.
Ketua Komisi Bahasa Niue, Tifaole Loane mengatakan bahwa kolonisasi wilayah Niue selama ini juga telah melenyapkan bahasa Vagahau Niue. Ia mengisahkan bahwa dirinya bersekolah dasar di Niue pada tahun 1960-an dan masih ingat bagaimana anak-anak saat itu berbicara bahasa Vagahau di sekolah.
“Di masa saya dulu, saya masih ingat bahwa anak-anak akan dihukum jika berbicara bahasa Niue. Kami dihukum dengan cara harus menulis ‘Saya tidak boleh berbicara bahasa Niue. Saya tidak boleh berbicara bahasa Niue..’ demikian terus menerus,” ujarnya.
Penduduk lokal juga saat itu diajari bahwa kebudayaan dan bahasa mereka derajatnya lebih rendah dibanding kebudayaan Barat dan bahasa Inggris. Ia kini harus bekerja keras menghapuskan mental yang terbentuk akibat penjajahan bahasa seperti yang ia alami.
“Masalahnya, para penjajah telah mengajari kita bahwa kebudayaan kita lebih rendah, bahasa kita lebih rendah. Saat ini, kita harus bekerja keras menghapuskan mental seperti ini karena kita tahu bahwa sebenarnya kebudayaan kita mengandung banyak nilai-nilai luhur,” tuturnya.
Gerakan menyelamatkan bahasa asli juga terjadi di Tonga. Masyarakat asli di Tonga merayakan Pekan Bahasa Tonga dan menampilkan berbagai atraksi kebudayaan dengan menggunakan bahasa asli sebagai pengantarnya.
Dari berbagai atraksi itu, di antaranya yaitu penampilan musik rap oleh Rizvan Tu’itahi yang bernyanyi rap menggunakan bahasa Tonga. Sederet predikat disematkan kepada Rizvan yang merupakan artis serba bisa ini. Selain penyanyi rap, ia juga seorang desainer grafis, produser dan aktor film.
Salah satu nomor di albumnya bertajuk ‘Phoenix” dirilis pada tahun 2012 membunyikan seruan berbahasa Tonga seperti ‘lele ke vave ki api’ – yang artinya adalah seruan para ibu di pedesaan Tonga kepada anak-anaknya untuk kembali ke rumah.
Nama-nama desa di Tonga juga diselipkan dalam lirik ‘Phoenix’ seperti di antaranya Havelu, Kolofo’ou dan Tofoa yang merujuk pada nama-nama desa di mana keluarganya tinggal ketika ia tumbuh besar di Tonga.
Rizvan adalah sosok orang Tonga yang bermukim di Selandia Baru dan juga ambil bagian dalam upaya penyelamatan bahasa asli bangsanya. **
Guam, Jubi – Kesadaran bangsa-bangsa asli Kepulauan Pasifik untuk menyelamatkan bahasa ibunya kini kian meningkat. Baru-baru ini, pemerintah Guam membentuk kembali sebuah komisi bahasa asli Chamorro yang telah 20 tahun ini mengalami mati suri.
Diketuai mantan senator, Hope Christobal, komisi bahasa asli Chamorro akan ditugaskan untuk memperbaharui aturan ortografi bahasa, menstandarisasi bahasa Camorro di Mariana dan menyusun kurikulum sekolah.
Christobal mengatakan bahwa anggota komisi dipilih dari kalangan melek sejarah, bahasa dan pendidikan Chamorro. Undang-undang yang melandasi pembentukan kembali komisi ini menggunakan istilah “Chamoru” dalam teks undang-undang. Beberapa ahli berpendapat bahwa “chamoru” adalah pengejaan paling benar terhadap nama suku dan bangsa asli Guam itu.
Kesadaran untuk menghidupkan kembali eksistensi bahasa asli ini bukan pertama kali dilakukan. Akhir tahun lalu, Guam membuat langkah besar dengan membuka sekolah bahasa Chamorro pertama di negara itu.
Jumlah penduduk yang masih menggunakan bahasa asli Guam dilaporkan terus menurun dan sudah mencapai tahap kritis dibandingkan beberapa dekade lalu. Jumlah penutur bahasa Chamorro hanya tercatat kurang lebih 25.000 orang yang kebanyakan berusia lebih dari 50 tahun.
Rufina Mendiola dari Divisi Chamorro Departemen Pendidikan Guam mengatakan bahwa selama ini pihaknya telah menerima permintaan penduduk untuk membuka sekolah berbahasa Chamorro. Sekolah tersebut mirip dengan sekolah berbahasa asli yang telah lebih dulu dibangun di Hawaii dan Selandia Baru.
Pembentukan sekolah Chamorro berarti niat pemerintah untuk mencetak generasi penutur bahasa asli Chamorro sangat besar. Mendiola mengatakan, sekolah berbahasa Chamorro ini akan mulai aktif melangsungkan kegiatan belajar mengajar dan menerima siswa baru pada tahun ini.
“Kami ingin memulai dari awal yaitu dengan membuka taman kanak-kanak dengan jumlah murid kurang lebih 18 orang. Lalu jika setiap tahun jumlah pendaftar makin banyak, kami akan membuka sekolah lain,” ujarnya.
Upaya penyelamatan bahasa asli Chamorro telah dimulai sejak pemerintah Amerika Serikat menggelontorkan dananya senilai 200 ribu dolar Amerika Serikat kepada pemerintah Guam dan Kepulauan Mariana Utara pada tahun 2013.
Universitas Guam saat itu kebagian tugas untuk mengatur pusat pendidikan bahasa Chamorro di tingkat sekolah menengah. Bantuan ini merupakan bantuan pertama kali diberikan untuk digunakan selama tiga tahun proyek berlangsung.
Perwakilan Kongres AS di Guam, Madeleine Bordallo mengatakan bahwa uang tersebut digunakan untuk memastikan agar para siswa kelas bahasa Chamorro menerima hak pendidikan yang sama dengan kelas internasional. Selain itu, tujuan utamanya yaitu melestarikan kebudayaan tradisional dan bahasa asli.
Selamatkan bahasa Niue
Gerakan penyelamaan bahasa asli juga tengah menggema di Niue. Para pemimpin Niue menyerukan agar penduduk asli Niue dan penduduk Niue yang bermukim di luar negeri untuk melestarikan bahasa Niue, Vagahau.
Pertengahan bulan lalu, mereka menggelar konferensi bertajuk Konferensi Vagahau Niue yang dihadiri oleh berbagai pembicara dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan perusahaan dari seluruh Pasifik Selatan.
Konferensi yang berlangsung di desa Mutalau itu berfokus untuk membantu penduduk Niue menggunakan bahasa asli mereka dalam rangka menyelamatkan kebudayaan mereka. Jumlah penduduk Niue saat ini mencapai 1.600 orang dan 30.000 orang lainnya bermukim di luar negeri.
Ketua Komisi Bahasa Niue, Tifaole Loane mengatakan bahwa kolonisasi wilayah Niue selama ini juga telah melenyapkan bahasa Vagahau Niue. Ia mengisahkan bahwa dirinya bersekolah dasar di Niue pada tahun 1960-an dan masih ingat bagaimana anak-anak saat itu berbicara bahasa Vagahau di sekolah.
“Di masa saya dulu, saya masih ingat bahwa anak-anak akan dihukum jika berbicara bahasa Niue. Kami dihukum dengan cara harus menulis ‘Saya tidak boleh berbicara bahasa Niue. Saya tidak boleh berbicara bahasa Niue..’ demikian terus menerus,” ujarnya.
Penduduk lokal juga saat itu diajari bahwa kebudayaan dan bahasa mereka derajatnya lebih rendah dibanding kebudayaan Barat dan bahasa Inggris. Ia kini harus bekerja keras menghapuskan mental yang terbentuk akibat penjajahan bahasa seperti yang ia alami.
“Masalahnya, para penjajah telah mengajari kita bahwa kebudayaan kita lebih rendah, bahasa kita lebih rendah. Saat ini, kita harus bekerja keras menghapuskan mental seperti ini karena kita tahu bahwa sebenarnya kebudayaan kita mengandung banyak nilai-nilai luhur,” tuturnya.
Gerakan menyelamatkan bahasa asli juga terjadi di Tonga. Masyarakat asli di Tonga merayakan Pekan Bahasa Tonga dan menampilkan berbagai atraksi kebudayaan dengan menggunakan bahasa asli sebagai pengantarnya.
Dari berbagai atraksi itu, di antaranya yaitu penampilan musik rap oleh Rizvan Tu’itahi yang bernyanyi rap menggunakan bahasa Tonga. Sederet predikat disematkan kepada Rizvan yang merupakan artis serba bisa ini. Selain penyanyi rap, ia juga seorang desainer grafis, produser dan aktor film.
Salah satu nomor di albumnya bertajuk ‘Phoenix” dirilis pada tahun 2012 membunyikan seruan berbahasa Tonga seperti ‘lele ke vave ki api’ – yang artinya adalah seruan para ibu di pedesaan Tonga kepada anak-anaknya untuk kembali ke rumah.
Nama-nama desa di Tonga juga diselipkan dalam lirik ‘Phoenix’ seperti di antaranya Havelu, Kolofo’ou dan Tofoa yang merujuk pada nama-nama desa di mana keluarganya tinggal ketika ia tumbuh besar di Tonga.
Rizvan adalah sosok orang Tonga yang bermukim di Selandia Baru dan juga ambil bagian dalam upaya penyelamatan bahasa asli bangsanya. **
Reporter :RNZI
redaksi@tabloidjubi.com
Editor : Lina Nursanty