158
BOUGAINVILLE, SATUHARAPAN.COM – Bila Bougainville meraih kemerdekaannya dari Papua Nugini (PNG) pasca referendum tahun depan, negara itu diperkirakan akan membutuhkan anggaran per tahun sebesar 800 juta Kina atau setara dengan sedikitnya Rp3,31 Triliun. (1 Kina = Rp4.145,22). Itu berarti tiga kali dari anggaran tahun 2016 yang mencapai 286 juta Kina.
Hal ini dikatakan oleh Profesor Satish Chand dalam presentasinya belum lama ini, sebagai bagian dari studi yang dilakukan oleh National Research Institute, terkait dengan otonomi fiskal wilayah Bougainville pasca referendum.
Ahli ekonomi itu mengatakan bahwa perkiraan kebutuhan dana yang dikemukakannya mempertimbangkan angka-angka yang diperoleh dari pemerintah wilayah otonomi Bougaiville, berupa anggaran belanja tahun 2016, jumlah penduduk serta perbandingan dengan anggaran negara-negara Melanesia tetangga.
“Fokus saya hanya pada anggaran rutin. Ingat Bougainville yang merdeka secara politik akan memiliki lebih banyak fleksibilitas mengenai pilihan kebijakan,” kata Prof Chand, dikutip dari media Papua Nugini, Papua New Guinea Post Courier.
“Ia bisa menetapkan tarif pajak sendiri, bisa meminjam dari pasar internasional, dan bisa menetapkan prioritas pengeluarannya sendiri. Ia akan memiliki semua ruang ini untuk bermanuver meskipun tingkat pajak dan tingkat pengeluaran tidak dapat menyimpang terlalu jauh dari Papua Nugini bahkan jika Bougainville merdeka,” kata Prof Chand.
“Tapi di sisi pengeluaran jika Anda menghitung semuanya, Bougainville memerlukan antara dua sampai tiga kali dari pendapatan yang diharuskan bagi sebuah wilayah otonomi Bougainville.”
Daerah otonomi Bougainville adalah salah satu dari provinsi Papua Nugini yang sejak tahun 1975 mengalami konflik menuntut kemerdekaan dari Papua Nugini. Wilayahnya terdiri dari sejumlah pulau tetapi pulau terbesarnya adalah Pulau Bougainville.
Daerah otonomi ini memiliki luas daratan mencapai 9.300 km persegi dengan penduduk 249,358 jiwa menurut sensus tahun 2011. Pulau ini kaya akan tembaga dan emas. Salah satu perusahaan yang paling awal menggarapnya adalah Rio Tinto dari Australia, yang belakangan meninggalkan wilayah itu karena adanya konflik dengan masyarakat.
Pada tahun 1988 Tentara Revolusioner Bougainville atau Bougainville Revolutionary Army (BRA) meningkatkan aktivitasnya menuntut kemerdekaan. Sejak itu konflik antara Tentara Papua Nugini dengan kelompok pro-kemerdekaan berlangsung dan diperkirakan telah menelan 15.000-20.000 korban jiwa. Pada tahun 1990 tentara Papua Nugini menarik diri dari pulau ini tetapi operasi militer mereka masih terus berlanjut.
Konflik mereda pada tahun 1997 setelah perundingan yang dimediasi oleh Selandia Baru. Kesepakatan damai dicapai pada tahun 2000 dengan menetapkan wilayah Bougainville sebagai wilayah otonomi, lengkap dengan pemerintahan sendiri. Kedua pihak juga sepakat untuk untuk melaksanakan referendum di masa depan namun waktunya belum ditentukan.
Pada tahun 2016, Presiden Papua Nugini, John Momis memastikan bahwa referendum kemerdekaan Bougainville akan dilaksanakan pada suatu waktu sebelum tahun 2020, dengan syarat sejumlah persoalan sudah bisa diatasi. Pada perkembangannya, pemerintah Papua Nugini dan pemeritah provinsi Bougainville menetapkan waktu tentatif referendum pada 15 Juni 2019, yang merupakan tahap akhir dari proses Perjanjian Damai Bougainville (Bougainville Peace Agreement) yang dibuat pada tahun 2016.
Isu-isu yang jadi prasyarat tersebut, sejauh ini belum keseluruhannya dapat diselesaikan dan PM Papua Nugini, Peter O Neill, sempat meragukan apakah referendum dapat dilaksanakan pada Juni 2019. Sementara itu berbagai pihak meyakini, bila referendum dilaksanakan hasilnya kemungkinan besar adalah mayoritas rakyat Bougainville akan memilih merdeka.
Dalam memperkirakan anggaran yang dibutuhkan Bougainville, Prof Chand membuat perbandingan dengan negara-negara berukuran serupa di kawasan negara tetangga dan dampak operasinya bagi pemerintahan yang lebih kecl itu, apabila melepaskan diri dari pemerintah pusat dan sistem pendukungnya.
Editor : Eben E. Siadari
BOUGAINVILLE, SATUHARAPAN.COM – Bila Bougainville meraih kemerdekaannya dari Papua Nugini (PNG) pasca referendum tahun depan, negara itu diperkirakan akan membutuhkan anggaran per tahun sebesar 800 juta Kina atau setara dengan sedikitnya Rp3,31 Triliun. (1 Kina = Rp4.145,22). Itu berarti tiga kali dari anggaran tahun 2016 yang mencapai 286 juta Kina.
Hal ini dikatakan oleh Profesor Satish Chand dalam presentasinya belum lama ini, sebagai bagian dari studi yang dilakukan oleh National Research Institute, terkait dengan otonomi fiskal wilayah Bougainville pasca referendum.
Ahli ekonomi itu mengatakan bahwa perkiraan kebutuhan dana yang dikemukakannya mempertimbangkan angka-angka yang diperoleh dari pemerintah wilayah otonomi Bougaiville, berupa anggaran belanja tahun 2016, jumlah penduduk serta perbandingan dengan anggaran negara-negara Melanesia tetangga.
“Fokus saya hanya pada anggaran rutin. Ingat Bougainville yang merdeka secara politik akan memiliki lebih banyak fleksibilitas mengenai pilihan kebijakan,” kata Prof Chand, dikutip dari media Papua Nugini, Papua New Guinea Post Courier.
“Ia bisa menetapkan tarif pajak sendiri, bisa meminjam dari pasar internasional, dan bisa menetapkan prioritas pengeluarannya sendiri. Ia akan memiliki semua ruang ini untuk bermanuver meskipun tingkat pajak dan tingkat pengeluaran tidak dapat menyimpang terlalu jauh dari Papua Nugini bahkan jika Bougainville merdeka,” kata Prof Chand.
“Tapi di sisi pengeluaran jika Anda menghitung semuanya, Bougainville memerlukan antara dua sampai tiga kali dari pendapatan yang diharuskan bagi sebuah wilayah otonomi Bougainville.”
Daerah otonomi Bougainville adalah salah satu dari provinsi Papua Nugini yang sejak tahun 1975 mengalami konflik menuntut kemerdekaan dari Papua Nugini. Wilayahnya terdiri dari sejumlah pulau tetapi pulau terbesarnya adalah Pulau Bougainville.
Daerah otonomi ini memiliki luas daratan mencapai 9.300 km persegi dengan penduduk 249,358 jiwa menurut sensus tahun 2011. Pulau ini kaya akan tembaga dan emas. Salah satu perusahaan yang paling awal menggarapnya adalah Rio Tinto dari Australia, yang belakangan meninggalkan wilayah itu karena adanya konflik dengan masyarakat.
Pada tahun 1988 Tentara Revolusioner Bougainville atau Bougainville Revolutionary Army (BRA) meningkatkan aktivitasnya menuntut kemerdekaan. Sejak itu konflik antara Tentara Papua Nugini dengan kelompok pro-kemerdekaan berlangsung dan diperkirakan telah menelan 15.000-20.000 korban jiwa. Pada tahun 1990 tentara Papua Nugini menarik diri dari pulau ini tetapi operasi militer mereka masih terus berlanjut.
Konflik mereda pada tahun 1997 setelah perundingan yang dimediasi oleh Selandia Baru. Kesepakatan damai dicapai pada tahun 2000 dengan menetapkan wilayah Bougainville sebagai wilayah otonomi, lengkap dengan pemerintahan sendiri. Kedua pihak juga sepakat untuk untuk melaksanakan referendum di masa depan namun waktunya belum ditentukan.
Pada tahun 2016, Presiden Papua Nugini, John Momis memastikan bahwa referendum kemerdekaan Bougainville akan dilaksanakan pada suatu waktu sebelum tahun 2020, dengan syarat sejumlah persoalan sudah bisa diatasi. Pada perkembangannya, pemerintah Papua Nugini dan pemeritah provinsi Bougainville menetapkan waktu tentatif referendum pada 15 Juni 2019, yang merupakan tahap akhir dari proses Perjanjian Damai Bougainville (Bougainville Peace Agreement) yang dibuat pada tahun 2016.
Isu-isu yang jadi prasyarat tersebut, sejauh ini belum keseluruhannya dapat diselesaikan dan PM Papua Nugini, Peter O Neill, sempat meragukan apakah referendum dapat dilaksanakan pada Juni 2019. Sementara itu berbagai pihak meyakini, bila referendum dilaksanakan hasilnya kemungkinan besar adalah mayoritas rakyat Bougainville akan memilih merdeka.
Dalam memperkirakan anggaran yang dibutuhkan Bougainville, Prof Chand membuat perbandingan dengan negara-negara berukuran serupa di kawasan negara tetangga dan dampak operasinya bagi pemerintahan yang lebih kecl itu, apabila melepaskan diri dari pemerintah pusat dan sistem pendukungnya.
Editor : Eben E. Siadari