Jayapura, Jubi – Seorang anggota parlemen Selandia Baru, Louisa Wall, mengatakan isu penentuan nasib sendiri West Papua harus didengar di forum Perwakilan Bangsa-bangsa (PBB).
Louisa Wall mengatakan itu pada peluncuran sebuah buku baru yang menjelaskan posisi Selandia Baru atas West Papua, pekan lalu.
Buku See No Evil: New Zealand’s betrayal of the people of West Papua (Tutup Mata: Pengkhianatan Selandia Baru kepada rakyat West Papua) yang ditulis Maire Leadbeater mengritik pemerintah Selandia Baru yang selama ini gagal mendukung hak-hak rakyat Papua.
Wall bilang buku itu menjelaskan gambaran sangat relevan tentang bagaimana rakyat Papua tak diberi keleluasaan bicara ketika tanah air mereka diintegrasikan ke Indonesia di tahun 1960’an.
Dia menyebutkan ada dukungan dari dalam kaukus Partai Buruh yang sekarang berkuasa, juga kaukus-kaukus Māori dan Pasifik, untuk membantu rakyat Papua mendapatkan referendum penentuan nasib sendiri yang lebih adil.
“Jalan ke depan ini benar-benar (beranjak dari) apakah ada keinginan dan prioritas untuk meperbaiki sebuah kesalahan historis? Ada makin banyak orang-orang seperti kita yang menjadi semakin tahu dan memang mendukung ajakan referendum bebas. Saya sendiri mendukung seruan untuk mendaftarkan Papua kembali ke (komite) Dekolonisasi PBB,” kata Wall.
Namun Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pengintegrasian bekas teritori Dutch New Guinea ke Indonesia itu sudah final lewat Pepera 1969 yang hanya diikuti 1000-an pemilih dengan konsep perwakilan yang ditunjuk.
Perdana Menteri Selandia Baru dan pemimpin Partai Buruh, Jacinda Ardern, kepada Joko Widodo ketika kunjungan Presiden Indonesia itu ke Selandia Baru awal tahun ini, menegaskan dukungan formal pemerintahnya atas kontrol Indonesia di Papua.
Namun, Wall dan sejumlah wakil parlemen dari partai pemerintah menganggap status politik West Papua sebagai persoalan kolonialisme yang belum selesai.
“Kita harus bertindak atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kewilayahan asli asal usul (indigeneity),” ujarnya, sambil mengakui bahwa jumlah wakil parlemen yang mendorong isu tersebut saat ini memang belum mayoritas.
“Saya percaya atas penentuan nasib sendiri, saya percaya atas hak-hak masyarakat asli. Ini merupakan hak masyarakat asli West Papua untuk mendapatkan legitimasi kembali atas hak yang sempat ditekankan itu dan yang dulu diberikan lewat cara yang tak adil”. (*)