153
CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Untuk pertama kalinya seorang warga negara Australia berlatar belakang suku asli, Aborigin, dilantik menjadi menteri pemerintah federalĀ bulan lalu. Namanya Ken Wyatt. Ia menjadi menteri federal untuk urusan usia lanjut dan kesehatan penduduk pribumi.
Dia seorang pendukung diadakannya referendum nasional untuk mengakui keberadaan rakyat Aborigin dalam konstitusi Australia,Ā sebagai bagian dari upaya mengubah salah kelola yang telah menjadi sejarah panjang.
Para pendukung referendum yang dimotori sejumlah partai politik dan kelompok pribumi, berupaya untuk melenyapkan satu bagian dari pasal yang memperbolehkan negara-negara bagian mendiskriminasi penduduk asli berdasarkan ras. Namun, proses ini berjalan lambat karena adanya perbedaan tentang seberapa luas cakupan perubahan hukum yang akan dilaksanakan. Sebagian kelompok pribumi Australia bahkan mulai mundur dari tuntutan mengamandemen konstitusi dan memilih bentuk perjanjian dengan pemerintah saja.
Wyatt termasuk tokoh yang tetap menuntut referendum lewat pendekatan konstitusi.
“Kesepakatan hanyalah perjanjian formal yang bisa dilanggar, dikesampingkan atau dihormati dengan cara yang minimalis,” kata pria berusia 64 tahun ini kepadaĀ Financial Times.
“Saya percaya bahwaĀ memasukkan pengakuan (akan hak Aborigin) di dalam konstitusi seperti memahat kata-kata ke dalamĀ pondasi batu. Ini akan membentuk dasar yang dengannya keputusan Pengadilan Tinggi akan dicapai di tengah tantangan hukum di masa depan. ”
Hanya saja rencana menggelar referendum yang diusulkan dilaksanakan pada bulan Mei — tepat pada ulang tahun ke-50 dariĀ referendum tahun 1967 yang memberi masyarakat asli hak-hak yang lebih besar tampaknya akan batal.Ā Wyatt mengatakan pelaksanaan referendum pada tahun 2018 adalah yang paling mungkin saat ini.
Dia memperingatkan hasil “No” pada referendum akan berisiko merusak yang telah dicapai pada referendum 1967 dan permintaan maaf pemerintah atas generasi yang hilang pada tahun 2008.
“Itu akan memundurkan kembali hubungan harmonis yang terjalin antara kita semua dan berdampak pada bagaimana Australia dipandang di seluruh dunia,” kata dia.
Siapa Ken Wyatt
Ken Wyatt, yang ketika dilantik jadi menteri bulan lalu mengenakan jubah Kanguru, lahir di rumah misi di Roelands, bekas rumah untuk anak-anak pribumi yang dipaksa dipisahkan dari orang tua mereka selama era “generasi yang dicuri” di Australia.
“Ibu saya dan semua saudara-saudaranyaĀ dimasukkan ke dalam rumah misi dan mereka dipisahkan – sehingga kontak mereka dengan kakek dan nenek saya terbatas,” kataĀ Wyatt.
“Saya punya file Departemen Kesejahteraan Penduduk Asli nenek saya dan ada suratnya yang dia tulis sendiri yang mengatakan ia ingin bertemu dengan anak-anaknya.”
Dalam wawancara denganĀ Financial Times, ia mengatakan bertekad menangani kalangan berkebutuhan khusus dan melawan rasisme institusional yang mempengaruhi masyarakat asli, yang jumlahnya 3 persen dari penduduk Australia yang 24 juta.
Wyatt berpendapat bahwa pemerintah sebelumnyaĀ tidak bekerja dengan masyarakat Aborigin sebagai mitra sejajar. Rekaman video yang dirilis pada bulan Desember menunjukkan penganiayaan dalam tahanan polisi atas seorang wanita Aborigin berusia 22 tahun, yang kemudian meninggal. Ini, menurut Wyatt,Ā adalah pengaruh rasisme institusional yang berlangsung di hampir seluruh layanan negara.
Dia kemudian mendirikan sebuah kelompok kerja untuk melihat determinan sosial dalam kesehatan masyarakat, termasuk rasisme institusional.
Ketika ditanya mengapaĀ begitu lama bagi pemerintah federal untuk menunjuk seorang menteri urusan penduduk asli, Wyatt menjawab bahwa “orang-orang non-pribumi selama bertahun-tahun telah meragukan orang pribumi untuk bisa melakukan pekerjaan ini.”
“Saya pikir adalah fakta bahwa telah terjadi pola pikir bahwa kita [orang Aborigin] memiliki tempat,” katanya. “Saya mendasarkan ini pada seorang guru yang pernah berkata kepada saya: ‘Anda adalah anak Aborigin. Anda harus meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah peternakan, karena Anda tidak akan pergi jauh.”
Editor : Eben E. Siadari
CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Untuk pertama kalinya seorang warga negara Australia berlatar belakang suku asli, Aborigin, dilantik menjadi menteri pemerintah federalĀ bulan lalu. Namanya Ken Wyatt. Ia menjadi menteri federal untuk urusan usia lanjut dan kesehatan penduduk pribumi.
Dia seorang pendukung diadakannya referendum nasional untuk mengakui keberadaan rakyat Aborigin dalam konstitusi Australia,Ā sebagai bagian dari upaya mengubah salah kelola yang telah menjadi sejarah panjang.
Para pendukung referendum yang dimotori sejumlah partai politik dan kelompok pribumi, berupaya untuk melenyapkan satu bagian dari pasal yang memperbolehkan negara-negara bagian mendiskriminasi penduduk asli berdasarkan ras. Namun, proses ini berjalan lambat karena adanya perbedaan tentang seberapa luas cakupan perubahan hukum yang akan dilaksanakan. Sebagian kelompok pribumi Australia bahkan mulai mundur dari tuntutan mengamandemen konstitusi dan memilih bentuk perjanjian dengan pemerintah saja.
Wyatt termasuk tokoh yang tetap menuntut referendum lewat pendekatan konstitusi.
“Kesepakatan hanyalah perjanjian formal yang bisa dilanggar, dikesampingkan atau dihormati dengan cara yang minimalis,” kata pria berusia 64 tahun ini kepadaĀ Financial Times.
“Saya percaya bahwaĀ memasukkan pengakuan (akan hak Aborigin) di dalam konstitusi seperti memahat kata-kata ke dalamĀ pondasi batu. Ini akan membentuk dasar yang dengannya keputusan Pengadilan Tinggi akan dicapai di tengah tantangan hukum di masa depan. ”
Hanya saja rencana menggelar referendum yang diusulkan dilaksanakan pada bulan Mei — tepat pada ulang tahun ke-50 dariĀ referendum tahun 1967 yang memberi masyarakat asli hak-hak yang lebih besar tampaknya akan batal.Ā Wyatt mengatakan pelaksanaan referendum pada tahun 2018 adalah yang paling mungkin saat ini.
Dia memperingatkan hasil “No” pada referendum akan berisiko merusak yang telah dicapai pada referendum 1967 dan permintaan maaf pemerintah atas generasi yang hilang pada tahun 2008.
“Itu akan memundurkan kembali hubungan harmonis yang terjalin antara kita semua dan berdampak pada bagaimana Australia dipandang di seluruh dunia,” kata dia.
Siapa Ken Wyatt
Ken Wyatt, yang ketika dilantik jadi menteri bulan lalu mengenakan jubah Kanguru, lahir di rumah misi di Roelands, bekas rumah untuk anak-anak pribumi yang dipaksa dipisahkan dari orang tua mereka selama era “generasi yang dicuri” di Australia.
“Ibu saya dan semua saudara-saudaranyaĀ dimasukkan ke dalam rumah misi dan mereka dipisahkan – sehingga kontak mereka dengan kakek dan nenek saya terbatas,” kataĀ Wyatt.
“Saya punya file Departemen Kesejahteraan Penduduk Asli nenek saya dan ada suratnya yang dia tulis sendiri yang mengatakan ia ingin bertemu dengan anak-anaknya.”
Dalam wawancara denganĀ Financial Times, ia mengatakan bertekad menangani kalangan berkebutuhan khusus dan melawan rasisme institusional yang mempengaruhi masyarakat asli, yang jumlahnya 3 persen dari penduduk Australia yang 24 juta.
Wyatt berpendapat bahwa pemerintah sebelumnyaĀ tidak bekerja dengan masyarakat Aborigin sebagai mitra sejajar. Rekaman video yang dirilis pada bulan Desember menunjukkan penganiayaan dalam tahanan polisi atas seorang wanita Aborigin berusia 22 tahun, yang kemudian meninggal. Ini, menurut Wyatt,Ā adalah pengaruh rasisme institusional yang berlangsung di hampir seluruh layanan negara.
Dia kemudian mendirikan sebuah kelompok kerja untuk melihat determinan sosial dalam kesehatan masyarakat, termasuk rasisme institusional.
Ketika ditanya mengapaĀ begitu lama bagi pemerintah federal untuk menunjuk seorang menteri urusan penduduk asli, Wyatt menjawab bahwa “orang-orang non-pribumi selama bertahun-tahun telah meragukan orang pribumi untuk bisa melakukan pekerjaan ini.”
“Saya pikir adalah fakta bahwa telah terjadi pola pikir bahwa kita [orang Aborigin] memiliki tempat,” katanya. “Saya mendasarkan ini pada seorang guru yang pernah berkata kepada saya: ‘Anda adalah anak Aborigin. Anda harus meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah peternakan, karena Anda tidak akan pergi jauh.”
Editor : Eben E. Siadari